Hembusan Angin Untuk Kabut Hitam
Tasya Marliani
Aku melangkahkan kaki
dengan semangat yang menghilang. Angin bisa saja menerbangkan kepasrahanku ini
dengan hembusan kecil senyuman mereka, tapi sayang, kepasrahan ini tumbuh
semakin besar layaknya sebuah pohon yang memiliki akar yang kuat, tertanam
dihati kecil yang egois ini.
Angin
berhembus disebelah barat, dedaunan kuning pun harus rela lepas dari pohon yang
selama ini menjaganya. “Akhirnya, aku bisa bebas” bukan itu yang dikatakan daun
“tumbuhlah, aku yang baru” katanya.
Awalnya
aku melangkah dengan perlahan dan tidak menyebabkan satu desibel suarapun ada.
Selembut dan sepelan mungkin, aku berusaha melangkah mendekati seorang insan
yang sedang berjalan menuju sebuah cahaya yang terlihat amat kecil, yang juga
menjadi incaranku selama ini.
Aku
melihat kepalsuan dan kegundahan dibalik senyumnya itu. Tawaannya tidak sama
seperti tawaan yang orang lakukan. Disana, terdapat tambahan perasa, yang
membuatnya manis namun sebenarnya sama sekali tidak manis. Sesuatu yang
terlihat seperti kabut hitam mengelilingi tubuhnya, membuatnya semakin gelap
dan tak terlihat. Langkah kakinya juga pelan dan tak bersuara, membuatku
menjadi semakin sulit mengejar dan mengikutinya dari belakang.
Akhirnya,
aku pun harus berani mengambil resiko, secepat dan selebar mungkin langkah yang
harus aku lakukan. Menyebabkan suara yang selama ini kupendam harus keluar dari
tempat persembunyiannya. Segala cara yang baik aku lakukan untuk dapat berjalan
disampingnya.
“Ya,
aku berhasil” kataku. Akhirnya, aku bisa berjalan disampingnya. Tentu saja aku
merasa senang. Aku mengembangkan senyumku setiap hari. Aku mencoba untuk
mengatakan “aku teman yang cukup baik”. tapi, aku mencari tahu lagi dan
mengetahui bahwa kata-kata itu tidak berlaku untuknya.
Lingkaran
hitam ditubuhnya ternyata semakin meluas, ia menciptakan jarak yang jauh
diantara aku dan dia. Aku memang berjalan disampingnya, namun dengan jarak yang
sangat jauh. Tapi entah kenapa, aku masih bisa mendengarkan setiap nafasnya dan
detakan jantungnya.
“kenapa?
Kami amat jauh, tapi aku dapat mendengarkannya.” Tanyaku dan akhirnya aku hanya
bisa menjawab ini dengan pasrah “Hah, mungkin angin memberikan ruang untukku
mendengar. Ia mengirimkan gelombang suara dengan frekuensi yang bisa aku
dengar” jawabku dan kembali pasrah.
Aku
berhenti. Berhenti dalam usaha keras dengan tujuan sepele ini. Apa tujuanku?
Tujuanku adalah untuk mengetahui siapa dia yang selama ini aku kenal. Aku
memang tahu namanya, aku bisa mendengarnya, dan aku bahkan bisa menghitung
helaan nafasnya dalam satu hari yang ia lewati dengan hanya melihat senyumnya
saja, tapi, aku tetap tidak tahu siapa dia. Kabut hitam kelam yang
menyelimutinya, tidak membiarkanku untuk mengetahui ia yang sebenarnya.
Tapi,
setelah angin membisikkan kata hatiku padaku, aku sadar, aku tidak sedang
berhenti, aku hanya kembali ke metode ku yang lama. Dimana aku melangkah, tanpa
menimbulkan suara. Dan aku, tertipu oleh metodeku sendiri. “Ah, ternyata aku
masih saja tetap melangkah. Bukankah aku benar benar bodoh? Bahkan, aku tidak
tahu kalau aku sedang berjalan” ledekku.
Ternyata,
tidak kenal lelah itu tidak ada. Aku semakin merasa lelah, aku merasa lelah
untuk selalu melangkah. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak bisa menghentikan
langkah ini. Akhirnya, aku terjatuh dan tersenyum dalam tangis “akhirnya aku
berhenti. Aku benar benar berhenti kali ini”.
Aku
mengeluh pada angin yang menggerakkan dedaunan yang mengangguk padaku. Tapi,
akhirnya mereka tetap bisa membuatku tersenyum padahal, aku sedang mengeluh.
Apa maksud angin? Apa maksud gerakan dedaunan yang membuatku tersenyum? Apa
maksudku tersenyum?
Sebuah
tangan yang tidak kekar, lebih seperti tangan halus yang bercahaya daripada tanganku
dan senyum itu. Aku melihat kilauan dimatanya. “Aku melihatnya dengan jelas”
gumamku. Ia menarikku dari dudukku dan membuatku berdiri dengan kedua kakiku.
Kembali menginjak tanah dan membawaku berjalan. Aku pasrah dan hanya bisa
menyamakan langkahku dengan langkahnya yang tidak begitu besar dan terlihat
sangat biasa.
Tapi
tunggu, kemana kabut hitam kelam yang mengelilinginya? Kemana aura yang
membuatku ketakutan? Apa ini benar benar dirinya? Aku melihatnya, aku
melihatnya dengan jelas. Wajah itu, senyum itu, orang itu, dia, aku bisa
melihatnya dengan jelas.
Tentu
saja banyak pertanyaan yang aku tanyakan padanya, sekedar hanya untuk
memastikan apakah itu benar-benar dia. Tapi, tidak apa-apa. Hanya berjalan
disampingnya seperti ini, tidak apa-apa. Menggenggam tangannya erat, tidak
apa-apa.
Tapi,
apakah aku benar benar bisa menggenggam tangannya sampai ke tujuan? Atau ini
semua hanya mimpi seorang aku? Apakah ia benar benar berada disampingku? Aku
memikirkan pertanyaan-pertanyaan sulit dalam suatu kebahagiaan yang sangat aku
nanti-nantikan. Bukankah aku ini bodoh?
Ia
tersenyum. Selama perjalan indah yang kami lakukan tadi, ia bersiul dan
bernyanyi. Aku mendengar dan pun ikut bernyanyi. Pandangannya semakin lama
semakin nyaman. “Aku benar benar tidak ingin bangun dari mimpi ini” Gumamku.
“Kau
tidak sedang bermimpi. Aku benar benar disini” Ucapnya dan membuat angin yang
lewat diantara kami semakin mengalun indah. Aku terkejut. Suaranya, benar benar
mengalun indah.
Setelah
lama kami melangkah bersama-sama dengan menggenggam tangannya. Genggamannya
lama kelamaan menjadi lemah. Akhirnya, terlepas ketika aku hendak
menggenggamnya lebih kuat.
Kabut
hitam kembali mulai menyelimuti dirinya. Ketakutanku juga semakin menguasai
diriku saat ini. Tapi tunggu, ketakutan? Rasa itu? Aku tidak berani menggenggam
tangannya. Aku tidak berani berbuat. Aku hanya berbuat dibelakang. Aku tidak
berani memperlihatkan aku, aku yang sebenarnya.
Akhirnya,
aku tahu jawabannya. Jawaban yang sangat sederhana, penyelesaian sederhana.
Aku, aku membuang ketakutan. Aku mengusir ketakutan dan menghancurkan sarang
ketakutan itu dari tubuhku. Aku tersenyum. Kabut yang menyelimutinya juga
berangsur-angsur menghilang.
Aku
bisa melihatnya lagi, kabut hitam yang mengelilingi tubuhnya menghilang. Angin
pun mulai mengalun lagi dengan indah. Kami berjalan dimusim gugur, dedaunan kuning pun mengucapkan selamat
datang kepada kami.
Ia
diam, kami tidak mengeluarkan suara apapun. Aku berjalan disampingnya. Aku
merasa senang. Walaupun ia tidak menggenggam tanganku aku tetap senang. Aku
tidak perlu jatuh untuk mendapatkan genggaman darinya. Karena aku tau, ia akan
mengganggapku seseorang yang menyusahkan jika aku selalu jatuh dan mendapatkan
genggamannya.
Sekilas,
kami bertatapan dan saling melemparkan senyum. Senyumnya yang tidak dipaksakan,
senyum yang bahkan tidak bisa dimiliki orang lain, senyum yang begitu
bercahaya. Walaupun singkat, aku masih bisa merasakan senyumnya itu. Aku
perlahan mencabut duri yang ada ditubuhnya, durinya semakin jelas seiring kabut
hitam yang menghilang. Aku akhirnya tahu, ia merasa kesakitan selama ini. Aku
harap, aku bisa mencabut duri duri ini dengan sapuan halus dan senyum yang
benar-benar nyata untuknya.
Sekarang,
aku tau cara untuk mendapatkan cahaya yang menjadi tujuan perjalanku itu, yaitu
kebahagiaan. Bagaimana cara menciptakan kebahagiaan? Seperti hujan, aku
menyiram benih kecil dan berharap akan tumbuh. Dan aku, sedang berusaha dan
menunggu benih itu hingga ia tumbuh dewasa. Dalam kebahagiaan benih itu, aku
merasakan kebahagiaan. Dia, apakah aku akan berhasil berjalan menuju tujuan,
dengannya?
Kalau
dulu ia yang menggenggam tanganku. Kali ini, aku akan memeluknya, tapi, aku
menunggu saat yang tepat. Dimana, kabut hitam yang selalu datang menghantuinya,
bisa aku musnahkan. Aku benar benar ingin membuatnya, bebas dari tusukan duri
yang menyebabkan kesakitannya selama ini.
Untuknya,
aku menjadi aku yang sebenarnya. Untukku, ia menjadi ia yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment